Selasa, 02 Oktober 2012

Konservasi Alam dalam Kacamata Islam

sumber :http://viqarchu.blogspot.com/2012/07/konservasi-alam-dalam-kacamata-islam.html Muqadimah Kawasan konservasi di SPTN Wilayah I Alam dan lingkungan hidup tidak terpisahkan dari manusia. Dan peran manusia adalah sebagai sosok yang memakmurkan bumi termasuk memelihara alam dan lingkungan hidup. Secara ekonomis alam dan lingkungannya sangat berharga dan penting. Telah banyak dicatat kerugian yang diakibatkan kerusakan alam dan lingkungan, baik secara langsung seperti permbalakan liar (ilegal logging), maupun tidak langsung seperti sedimentasi di waduk ataupun bendungan yang membuat PLTA tidak beroperasi sehingga menurunkan daya listrik. Pada kondisi tertentu keadaan ini mengakibatkan pemadaman bergilir yang akhir-akhir ini sering terjadi. Dalam skala yang lebih luas, bumi terancam oleh pemanasan global dan efek rumah kaca yang dapat menenggelamkan pulau-pulau dan kota-kota tertententu di dunia. Berbagai tindakan telah dilakukan oleh negara-negara di dunia. Dalam Konverensi Tingkat Tinggi tentang lingkungan hidup di Kyoto, Jepang beberapa kesepakatan telah dicapai untuk mengurangi emisi setiap negara. Namun, Amerika Serikat tidak ikut menandatangani perjanjian penurunan emisi tersebut. Sebuah arogansi yang untuk kesekian kalinya ditampakkan. Dalam khasanah ilmu pengetahuan barat, konservasi merupakan cabang dari ilmu yang disebut ekologi. Ekologi berasal dari akar kata yang sama dengan ekonomi, yaitu oikos (rumah tangga). Sehingga ekologi adalah ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup, yaitu mengenai hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan bendabenda mati disekitarnya. Dalam perspektif Islam, menjaga lingkungan hidup adalah kewajiban, yaitu sebagai salah satu kewajiban manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sehingga menjaga lingkungan hidup bukan hanya didorong oleh pertimbangan ekonomis semata. Di sinilah perbedaan pandangan hidup Islam dengan yang lain. Institusi Konservasi Dalam Syariat Islam 1. Hima’ Hima’ adalah kawasan hukum dimana dilarang untuk diolah dan dimiliki seseorang (pribadi), sehingga ia tetap menjadi wilayah yang dipergunakan bagi siapapun sebagai tempat tumbuhnya padang rumput dan tempat mengembalakan hewan. Al Mawardi dalam Al Ahkaamus-sulthaaniyah menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menetapkan suatu tempat seluas 6 mil menjadi hima’ bagi kuda-kuda kaum muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Menurut As Suyuti dan para fuqoha, sebuah kawasan dapat menjadi hima’ dengan empat syarat, yaitu : Ditentukan berdasarkan keputusan pemerintah Dibangun berdasarkan ajaran Allah SWT – untuk tujuan-tujuan yang berkaitan dengan kesejahtraan umum Tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi masyarakat sekitar Harus mewujudkan manfaat yang nyata bagi masyarakat Maka, hima’ adalah istilah yang paling tepat untuk mewakili istilah daerah konservasi dalam Islam. Berdasarkan kekhususannya ada 5 jenis Hima’ : Wilayah dimana menggembalakan hewan tidak diperbolehkan Wilayah dimana menggembalakan hewan diperbolehkan hanya pada musim tertentu Wilayah perlindungan lebah; menggembalakan hewan dilarang pada musim bunga/semi Wilayah hutan; dilarang menebang pohon Wilayah suaka lingkungan untuk daerah/komunitas tertentu (kota, desa, dusun atau suku tertentu), misalnya hutan kota, hutan adat dll Hima’ – yang telah diakui oleh FAO – memiliki ukuran berbeda-beda. Hima’ Al- Rabadha, yang dibangun oleh Khalifah Umar ibn Khatan dan kemudian diperluas oleh Khalifah Utsman, adalah salah satu yang terbesar. Membentang dari Ar Rabadhah di barat Najd hingga ke daerah sekitar kampung Dariyah. Pada tahun 1965 ada kurang lebih 3000 hima’ di Arab Saudi. Sebagai peninggalan Islam, sampai sekarang banyak hima’-hima’ di Arab Saudi yang masih memiliki keanekaragaman hayati dan habitat-habitat biologi penting. 2. Iqta Iqta merupakan lahan (garap) yang dipinjamkan oleh negara kepada para investor atau pengembang dengan pernjanjian kesanggupan untuk mengadakan reklamasi (perbaikan lahan yang digarap). Oleh karena itu dalam menggarap Iqta, harus ada jaminan tanggung jawab dan keuntungan baik untuk investor penggarap maupun untuk masyarakat sekitarnya. Apabila penggarap telah membangun lahan tersebut menjadi produktif, maka dia tidak bisa memindahtangankan lahan tersebut kepada orang lain. Apabila lahan tersebut selama 3 tahun ditelantarkan, maka penguasa negara bisa mencabut hak pakai penggarap lahan dan mengalihkannya kepada pihak lain yang ingin menghidupkan tanah tersebut. Lahan yang digunakan untuk Iqta adalah lahan yang di dalamnya tidak ada kepentingan umum, misalnya sumber daya air, kepentingan ekosistem dan tidak menimbulkan masalah baru bagi daerah sekitar pada masa penggarapan. Dalam kawasan tersebut juga harus dipastikan tidak terdapat sumber daya mineral atau keuntungan umum lain yang seharusnya dikuasai oleh pemerintah untuk kemaslahatan orang banyak. 3. Harim Harim adalah lahan atau kawasan yang sengaja dilindungi untuk melestarikan sumber-sumber air. Harim dapat dimiliki atau dicadangkan oleh kelompok atau individu ataupun kelompok. Biasanya harim terbentuk bersamaan dengan keberadaan ladang dan persawahan, tentu saja luas kawasan ini berbeda. Di dalam sebuah desa, harim dapat difungsikan untuk menggembalakan hewan ternak atau mencari kayu bakar. Akses masyarakat ke tempat ini pun dimudahkan; dapat ditempuh tidak lebih dari satu hari pada hari yang sama. Yang penting dalam harim ini adalah adanya kawasan yang masih asli (belum dirambah), tidak dimiliki individu namun menjadi hak milik umum. Pemerintah dapat mengadministrasikan atau melegalisasi kawasan ini untuk keperluan bersama. Pada era Turki Utsmani harim digunakan untuk menunjukkan suatu area (di sekitar rumah) yang terlarang bagi laki-laki asing (untuk memasukinya). Kata harim sendiri berarti suatu hal yang pribadi, sangat dihormati dan dimulyakan. Ihya al-Mawat Tanah sebagai unsur lingkungan paling mendasar mendapat perhatian lebih dalam Islam. Semangat menghidupkan (Ihya) kawasan mati/tidak produktif (al mawat) merupakan anjuran kepada setiap muslim untuk mengelola lahan supaya tidak ada kawasan yang terlantar. Menghidupkan di sini termasuk juga menjaga dan memelihara kawasan tertentu untuk kemaslahatan umum dan mencegah bencana. Semangat menghidupkan lahan ini penting sebagai landasan untuk memakmurkan bumi. Tentu saja pemerintah dan perundang-undangan harus akomadatif dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan lahan secara konsisten. Daya Dukung Lingkungan Sumber daya alam yang ada sebenarnya telah disediakan oleh Allah SWT lebih dari cukup untuk semua makhluk di muka bumi, termasuk manusia. Namun, berbagai pelanggaran dan ketamakan membuat sumber daya yang ada rusak dan tidak terdistribusikan dengan baik sehingga tidak bisa dimanfaatkan dengan adil dan maksimal. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan yang matang dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada termasuk air, hutan, tanah, minyak dan gas dll. Daya dukung lingkungan terhadap semua bentuk aktifitas manusia mesti diperhatikan. Daya dukung lingkungan adalah total potensi lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk aktifitas produktif. Misalnya, penggunaan tanah sebagai lahan penggembalaan seperti terlihat pada gambar 1, menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan yang baik akan tercapai pada tingkat penggunaan lahan sebesar 30 % - 70 % dari keseluruhan potensi yang ada. Dalam diagram 1, daya dukung lingkungan bisa digunakan hingga 100 %. Namun, bila digunakan maksimal hingga 100 % (Q1) maka kualitas lingkungan akan menjadi sangat buruk, karena lahan habis untuk penggembalaan, tidak ada saluran pengairan, putusnya rantai makanan karena species yang homogen dan akhirnya keseimbangan ekosistem pun rusak. sebaliknya. Sementara bila potensi lingkungan yang digunakan terlalu sedikit maka lahan yang ada tidak memberikan manfaat maksimal. Oleh karena itu, penggunaan potensi lahan hingga 50 % dipandang sebagai pemakaian maksimal. Dengan toleransi kerusakan yang maksimal yaitu pada angka 1. Penutup Syariat Islam mempunyai bentuk-bentuk dasar dan semangat konservasi yang jelas. Beberapa prinsip di atas dapat digunakan dalam usaha konservasi lingkungan dalam payung syariat Islam. Dewasa ini masalah konservasi lingkungan berkaitan dengan berbagai persoalan yang kompleks. Oleh karena itu, 3 institusi tadi harus didukung oleh konsistensi pemerintah menerapkan kebijakan ekonomi yang adil, karena lingkungan selalu jadi korban ketika ekonomi masyarakat terpinggirkan. Peran politik dan penegakkan hukum juga tidak boleh ditinggalkan, terutama ketika harus menekan perusahaan-perusahaan multinasional untuk memenuhi kewajiban mereka memperbaiki lahan dan lingkungan yang telah mereka eksploitasi. Daftar Pustka Al Mawardi. 2000. Al Ahkaamus-sulthaaniyah wal-wilaayatud-diiniyah. Terj. Jakarta. Gema Insani Pers Soerjani, Mohammad. 1987. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta. UI Pers Majalah Mangunjaya, Fachrudin Majeri. Lingkungan Hidup dan Konservasi Alam dalam Perspektif Islam. Majalah Islamia Vol. III No. 2