Kamis, 09 Agustus 2012

JANGAN CEPAT MENYERAH

diposkan : Ibnu Hakim Sumber: Kick Andy Hidup adalah perjuangan dan perjuangan memerlukan tekad serta semangat untuk bisa berhasil. Spirit itulah yang dimiliki para nara sumber Kick Andy kali ini. Sehingga seorang pelayan toko bisa menjadi atlet kelas dunia, seorang penderita kanker bisa menjadi dokter, seorang anak tukang dandang jadi pengusaha, dan seorang penyandang cacat fisik bisa menjadi seorang pemilik stasiun radio dan sekolah. Dari Yogyakarta, ada semangat seorang perempuan bernama Agung Etti Hendrawati. Ia terlahir dari sebuah keluarga sederhana di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Bapaknya bekerja serabutan dan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Etti adalah anak ketiga dari delapan bersaudara yang harus berpencar ketika orang tua mereka memutuskan bercerai. Dan ia kemudian mendapat jatah untuk tinggal bersama neneknya, ketika duduk di bangku sekolah dasar. Sejak kecil Etti pun harus berjuang dengan membantu neneknya berjualan kue. Satu hal yang paling menyenangkan di masa kecilnya adalah memanjat pohon dan mengambil buah ranum yang ia bisa makan. Bisa jadi, hobi inilah yang kemudian menjadi fondasi bagi kesuksesan Etti di masa sekarang. Dengan perjuangan yang tak mudah, lulusan SMA yang pernah menjadi pelayan toko pakaian ini sekarang sudah menjadi seorang atlet panjat dinding dan tebing yang berhasil di kelas dunia. Sedikit gambaran prestasinya adalah di tahun 2000 menjadi Juara I Speed Climbing Kejuaraan Dunia ESPN X, San Fransisco, AS dan pernah juga menyabet Juara I World Cup Speed Rock, yang dige¬lar di Val Daone, Italia, tahun 2005 lalu. Semangat yang tak pernah padam juga dimiliki oleh perempuan asal Pati, Jawa Tengah. Adalah Alvita Dewi Siswoyo, yang harus rela hilangan satu bola matanya di usia 1 tahun akibat serangan kanker. Maka saat sekolah ia harus sering menerima ejekan dari teman-temannya. Deritanya tak cukup sampai di situ, karena di usia 16 tahun cobaan kedua menghampiri tubuhnya kembali. Kanker kelenjar getah bening jenis langka menyerang kakinya, dan sudah sampai pada stadium 3B. Alhasil, masa remaja yang indah , nyaris tak Alvita miliki, karena waktunya banyak ia habiskan untuk menjalani berbagai pengobatan. Bahkan Alvita harus bersekolah dengan memakai kruk dan rambut palsu. “Masa remaja saya habis untuk berjuang menghadapi maut,” tutur Alvita. Semangat telah mengalahkan semua derita dan sakit yang menyerangnya. Dan menurutnya, perjuangan terberat yang ia lakukan adalah melawan kelemahan dan keputusasaan dalam dirinya. Jalan panjang telah ia lalui sehingga ia bisa terus melanjutkan hidup dan bergegas mencapai cita-citanya sejak kecil, menjadi seorang dokter. Alvita kini sudah menjadi seorang dokter dengan karir pertamanya sebagai dokter relawan di Yayasan Kanker Indonesia. Sekarang Alvita berpraktek di RS. Hasan Sadikin Bandung. Keinginan terbesarnya adalah membantu para penyandang kanker untuk sembuh, maka ia melanjutkan sekolah ke spesialis kedokteran nuklir dan sedang mempersiapkan buku yang dikhususkan untuk menyemangati para penderita kanker, berjudul “Aku Mau Sembuh”. Kisah tak kalah unik datang dari Rembang, Jawa Tengah. Laki-laki bernama Santoso Hartono ini punya semangat yang besar untuk melestarikan budaya batik. Tapi perjalanan hidup dan usahanya tidak mulus pada awalnya. Ia sempat hijrah ke Jakarta, bekerja sebagai buruh di beberapa pabrik, dan kembali ke ke kampong halaman saat tidak berhasil. Usahanya pun jatuh bangun, tapi ia anti untuk menyerah. Sekarang ia sudah menjadi pengusaha batik yang sukses, bisa menghimpun 640 karyawan dan menghasilkan 100 sampai 125 lembar kain batik lasem per hari. Kesuksesan setelah melawan keterbatasan juga ada di kota Indramayu, Jawa Barat. Semangat itu dimiliki seorang penyandang cacat fisik Ahmad Sholihun Ikhsan, yang lahir dalam keadaan kaki dan tangan yang tak normal. Selama hampir 13 tahun sejak kelahirannya di tahun 1973, Sholihun nyaris tak pernah ke luar rumah. Ia hanya berkutat dengan radio sebagai temannya, dan pesawat televisi sebagai penghibur sekaligus tempatnya belajar membaca. Ketika ibunya wafat, menjadi titik balik bagi kehidupannya. Ia meminta sang ayah untuk mengijinkannya melihat dunia luar dan belajar di pesantren. Maka Sholihun mendapat kesempatan untuk belajar di pesantren hingga enam tahun lamanya. Sikap pantang menyerah dan kecintaannya pada radio yang menjadikan Sholihun kini bisa berhasil membangun sebuah stasiun radio. Baginya, radio bukan saja alat hiburan, tapi alat komunikasi sosial yang bisa memberikan manfaat besar bagi banyak orang. Stasiun radio milik Sholihun kini bernama Radio Kota Mangga. Selain dunia radio, Sholikun juga membangun madrasah di wilayahnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar